Dengan Ibu-ibu Hamil

0

Aku sangat senang di dalam kantorku karena diangkat menjadi manajer di perusahaan swasta. Namaku Zaky, umurku 28 tahun, tinggiku 171 cm. Kata orang, aku mirip dengan salah satu atlet basket Indonesia, Deny Sumargo. Kisah seksku ini terjadi satu tahun yang lalu. Saat ini, aku sudah mempunyai istri dan 2 anak yang masih kecil.

Saat pulang dari kerja pukul 11 malam karena lembur penutupan bulan, dengan mobilku aku menyusuri kawasan perumahan elit. Kebetulan malam itu gerimis, dengan pelan-pelan aku mengendarainya. Di tengah perjalanan, aku melihat perempuan sedang berdiri di bawah pohon. Aku merasa kasihan, kemudian aku hampiri dia dan bertanya:

“Ibu sedang menunggu apa?”

Dia memandangku agak curiga, tapi kemudian tersenyum. Dalam hati aku memuji, Manis juga ibu ini, walaupun umurnya kelihatannya di atasku, sekitar 34-36 tahun. Kalau digambarkan, seperti artis Misye Arsita. Saat itu, perutnya agak membuncit kecil, kelihatan sedang hamil muda.

“Kalau ke Manukan naik angkot apa ya, Dik?”

“Wah, jam segini sudah habis, Bu, angkotnya. Gimana kalau saya antar?”

Dia kelihatan gembira. “Apa tidak merepotkan?”

“Kebetulan rumah saya juga satu arah dari sini. Mari naik!”

Setelah dia ikut mobilku, ibu itu bercerita bahwa dia berasal dari Jawa Tengah. Dia sedang mencari suaminya yang baru 2 minggu kerja sebagai sopir bis jurusan Semarang-Surabaya. Keperluannya ke sini hendak mengabarkan bahwa anak pertamanya yang berumur 15 tahun kecelakaan dan dirawat di rumah sakit, sehingga butuh uang untuk perawatan. Kebetulan alamat yang ditulis suaminya tidak ada nomor teleponnya.

Sesampainya di alamat yang dituju, kami berhenti. Setelah di depan rumah, ketika akan mengetuk pintu, ternyata pintunya masih digembok. Lalu kami bertanya pada tetangga sebelah yang kebetulan satu profesi.

“Suami Ibu paling cepat 2 hari lagi pulangnya. Baru saja sore tadi bisnya berangkat ke Semarang. Kebetulan kami satu PO.”

Kemudian kami permisi pergi. Kelihatan di dalam mobil dia sedih sekali.

“Terus sekarang Ibu mau ke mana?” tanyaku.

“Sebenarnya saya pengin pulang, tapi… pasti saya nanti dimarahi mertua kalau pulang dengan tangan kosong. Lagian uang saya juga sudah nggak cukup untuk pulang.”

“Begini saja, Ibu kan rumahnya jauh, capek kan baru sampai trus pulang lagi… apalagi kelihatannya Ibu sedang hamil. Berapa bulan?”

“Empat bulan ini, Dik. Trus saya harus gimana?”

“Dalam dua hari ini, Ibu tinggal saja di rumah saya, kan nggak jauh dari Manukan. Nanti setelah dua hari, Ibu saya antar ke sini lagi. Gimana?”

“Yah, terserah Adik saja, yang penting saya bisa istirahat malam ini.”

“Oh ya, boleh kenalan? Nama Ibu siapa dan usianya sekarang berapa?”

“Panggil saja aku Mbak Dina, dan sekarang aku 35 tahun.”

Malam itu, dia kusuruh tidur di kamar samping yang biasanya dipakai untuk kamar tamu. Rumahku terdiri dari 3 kamar: kamar depan kupakai sendiri dan istriku, sedang yang belakang untuk anakku yang pertama.

Malam itu aku tidur nyenyak sekali. Kebetulan malam Sabtu, dan di kantorku hanya berlaku 5 hari kerja, jadi Sabtu dan Minggu aku libur. Sebenarnya aku ingin pergi ke Malang, tapi karena ada tamu, kutangguhkan kepergianku minggu depan.

Sekitar jam 8 pagi aku bangun. Kulihat sudah ada kopi yang agak dingin di meja makan serta beberapa kue di piring. Mungkinkah ibu itu yang menyajikan semua ini? Lalu setelah kuteguk kopi itu, aku bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan kencing.

Karena agak ngantuk, aku kurang mengawasi apa yang terjadi. Saat aku selesai kencing, aku tidak sadar kalau di bathtub, Mbak Dina sedang telanjang dan berendam di dalamnya.

Matanya melotot melihat kemaluanku yang menjulur bebas. Ketika aku membalik ke samping, aku kaget dan sempat tertegun melihat tubuh telanjang Mbak Dina. Tubuh yang kuning langsat dan mulus itu terlihat mengkilat karena basah oleh air. Buah dadanya… wow, besar juga ternyata, 36B. Pasti empunya gila seks.

Lalu mataku berpindah ke sekitar pusarnya. Di atas liang senggamanya tumbuh bulu kemaluan yang lebat. Tak sadar, kemaluanku tegak berdiri, dan aku lupa kalau belum mengancingkan celana.

Mbak Dina sempat tertegun melihat kejantananku yang lumayan besar—panjangnya 17 cm—tapi kemudian…

“Aouuww, Dik, itunyaa!” kata Mbak Dina sambil menutup buah dadanya dengan tangan serta mengapitkan kakinya.

Aku baru sadar, lalu buru-buru keluar.

Di kamar, aku masih membayangkan keindahan tubuh Mbak Dina. Andai saja aku bisa menikmati tubuh itu… Aku malah berpikiran ngeres karena memang sudah lama aku tidak mendapat jatah dari istriku. Ditambah lagi, situasi di rumah itu hanya kami berdua.

Lalu timbul niat isengku untuk mengintip lagi ke kamar mandi. Ternyata dia sudah keluar, lalu kucari ke kamarnya. Saat di depan pintu, samar-samar aku mendengar ada suara rintihan dari dalam kamar samping. Kebetulan nako jendela kamar itu terbuka, lalu kusibakkan tirainya perlahan-lahan.

Sungguh pemandangan yang amat syur. Kulihat Mbak Dina sedang masturbasi. Kelihatan sambil berbaring di ranjang, dia masih telanjang bulat. Kakinya dikangkangkan lebar, tangan kirinya meremas liang kewanitaannya sambil jarinya dimasukkan ke dalam lubang senggamanya. Sedang tangan kanannya meremas buah dadanya bergantian.

Sesekali pantatnya diangkat tinggi, sambil mulutnya mendesis seperti orang kepedasan. Wajahnya kelihatan memerah dengan mata terpejam.

“Ouuuhh… Hhhmm… Ssstt…”

Aku semakin penasaran ingin melihat dari dekat. Lalu kubuka pintu kamarnya pelan-pelan. Tanpa suara, aku berjingkat masuk. Aku semakin tertegun melihat pemandangan yang merangsang birahi itu. Samar-samar kudengar dia menyebut namaku:

“Ouhhh Satriaii… Sss Ahhh…”

Ternyata dia sedang membayangkan bersetubuh denganku! Kebetulan sekali, rasanya aku sudah tidak tahan lagi ingin segera menikmati tubuhnya yang mulus, walau perutnya agak membuncit—justru menambah nafsuku.

Lalu pelan-pelan kulepaskan pakaianku satu-persatu hingga aku telanjang bulat. Batang kemaluanku sudah sangat tegang. Kemudian, tanpa suara, aku menghampiri Mbak Dina. Kuikuti gerakan tangannya meremas buah dadanya.

Dia tersentak kaget, lalu menarik selimut dan menutupi tubuhnya.

“Sedang apa Anda di sini?! Tolong keluar!” katanya agak gugup.

“Mbak nggak usah panik… kita sama-sama butuh… sama-sama kesepian. Kenapa tidak kita salurkan bersama?” kataku merajuk sambil terus berusaha mendekatinya, tapi dia terus menghindar.

“Ingat, Dik, saya sudah bersuami dan beranak tiga,” dia terus menghiba.

“Mbak, saya juga sudah beristri dan punya anak. Tapi sekarang, terus terang, saya sangat terpesona oleh Mbak. Nggak ada orang lain di sini… cuma kita berdua… pasti nggak ada yang tahu. Ayolah, saya akan memuaskan Mbak. Saya janji nggak akan menyakiti Mbak. Kita lakukan atas dasar suka sama suka dan sama-sama butuh. Mari, Mbak!”

“Tapi saya sekarang sedang hamil, Dik… kumohon jangan,” pintanya terus.

Aku hanya tersenyum. “Saya dengar tadi samar-samar Mbak menyebut namaku, berarti Mbak juga inginkan aku… jujur saja.”

Dan aku berhasil menyambar selimutnya. Lalu dengan cepat kutarik dia dan kujatuhkan di atas ranjang. Sekejap kutubruk tubuhnya, dan wajahnya kuhujani ciuman. Tapi dia terus meronta sambil berusaha mengelak dari ciumanku.

Segera tanganku beroperasi di dadanya. Buah dadanya yang lumayan besar itu jadi garapan tanganku yang mulai nakal.

“Ouughh… jangaan, Diik… Kumohon lepaskaan…” rintihnya.

Tanganku yang lain menjalari daerah kewanitaannya. Bulu-bulu lebatnya telah kulewati, dan tanganku akhirnya sampai di liang senggamanya—terasa sudah basah.

Lalu kugesek-gesek klitorisnya dan kurojok-rojok dinding kemaluannya. Terasa hangat dan lembab, penuh dengan cairan mani.

“Uhhh… ssss…” Akhirnya dia mulai pasrah tanpa perlawanan.

Nafasnya mulai tersengal-sengal.

“Yaahhh… Ohhh… Jangaaann, Diik… Jangan lepaskan, terusss…”

Gerakan Mbak Dina semakin liar. Dia mulai membalas ciumanku—bibirku dan bibirnya saling berpautan. Aku senang, kini dia mulai menikmati permainan ini.

Tangannya meluncur ke bawah dan berusaha menggapai laras panjangku. Kubiarkan tangannya menggenggamnya dan mengocoknya.

Aku semakin beringas. Lalu kusedot puting susunya dan sesekali menjilati buah dadanya yang masih kencang walaupun sudah menyusui tiga anaknya.

“Yahh… teruuuss… enaakkk…” katanya sambil menggelinjang.

Kemudian aku bangun, kulebarkan kakinya dan kutekuk ke atas. Aku semakin bernafsu melihat liang kewanitaannya yang merah mengkilat.

Dengan rakus, kujilati bibir kewanitaan Mbak Dina.

“Aaahh… Ohhh… enaakkk, Diik… Yaakh… teruusss…”

Kemudian lidahku kujulurkan ke dalam dan kutelan habis cairan maninya. Sekitar bulu kemaluannya juga tak luput dari jamahan lidahku, maka kini kelihatan rapi seperti habis disisir.

Klitorisnya tampak merah merekah, menambah gairahku untuk menggagahinya.

“Sudaahhh, Dikk… sekarang… ayolah sekarang… masukkan… aku sudah nggak tahan…” pinta Mbak Dina.

Tanpa buang waktu lagi, kukangkangkan kedua kakinya sehingga liang kewanitaannya kelihatan terbuka. Kemudian kuarahkan batang kejantananku ke lubang senggamanya—agak sempit rupanya, atau mungkin karena diameter kemaluanku yang terlalu lebar.

“Pelan-pelan, Dik… punya kamu besar sekali… ahhh…”

Dia menjerit saat kumasukkan seluruh batang kemaluanku hingga aku merasakan mentok sampai dasar rahimnya. Lalu kutarik dan kumasukkan lagi. Lama-lama kupompa semakin cepat.

“Oughhh… Ahhh… Ahhh… Ahhh…”

Mbak Dina mengerang tak beraturan. Tangannya menarik kain sprei—tampaknya dia menikmati betul permainanku. Bibirnya tampak meracau dan merintih. Aku semakin bernafsu. Di mataku, dia saat itu adalah wanita yang haus dan minta dipuaskan. Tanpa berpikir, aku sedang meniduri istri orang, apalagi dia sedang hamil.

“Ouuhh, Diik… Mbak mau kelu… aaahhh…”

Dia menjerit sambil tangannya mendekap erat punggungku. Kurasakan…

“Seerrr… serrr…”

Ada cairan hangat yang membasahi kejantananku yang sedang tertanam di dalam kemaluannya. Dia mengalami orgasme yang pertama.

Aku kemudian menarik lepas batang kejantananku dari kemaluannya. Aku belum mendapat orgasme. Kemudian aku memintanya untuk doggy style. Dia kemudian menungging, kakinya dilebarkan.

Perlahan-lahan kumasukkan lagi batang kebanggaanku, dan…

“Sleeep…”

Batang itu mulai masuk hingga seluruhnya amblas. Lalu kugenjot maju mundur. Mbak Dina menggoyangkan pinggulnya mengimbangi gerakan batang kejantananku.

“Gimaa… Mbaak, enak kan?” kataku sambil mempercepat gerakanku.

“Yahhh… ennakk… Dik punyaa kamu enak banget… Aahhh… Aaah… Uuuhh… Aaahh… ehhh…”

Dia semakin bergoyang liar seperti orang kesurupan.

Tanganku menggapai buah dadanya yang menggantung indah dan bergoyang bersamaan dengan perutnya yang membuncit. Buah dada itu kuremas-remas serta kupilin putingnya.

Akhirnya, aku merasa sampai ke klimaks, dan ternyata dia juga mendapatkan orgasme lagi.

“Creeett… croottt… serrr…”

Spermaku menyemprot di dalam rahimnya bersamaan dengan maninya yang keluar lagi.

Kemudian kami ambruk bersamaan di ranjang. Aku berbaring, di sebelah kulihat Mbak Dina dengan wajah penuh keringat tersenyum puas kepadaku.

“Terima kasih, Dik. Saya sangat puas dengan permainanmu,” katanya.

“Mbak, setelah istirahat, bolehkah saya minta lagi?” tanyaku.

“Sebenarnya saya juga masih pengin, tapi kita sarapan dulu, kemudian kita lanjutkan lagi.”

Akhirnya, selama 2 hari—Sabtu dan Minggu—aku tidak keluar rumah, menikmati tubuh montok Mbak Dina yang sedang hamil 4 bulan.

Berbagai gaya kupraktikkan dengannya: di kamar mandi, di dapur, di meja makan, bahkan sempat di halaman belakang karena rumahku dikelilingi tembok. Di tanah, kubentangkan tikar dan kugumuli dia sepuasnya.

Pada istriku, kutelepon kalau aku ada tugas luar kota selama 2 hari, pulangnya hari Senin.

Mbak Dina bilang, selama 2 hari itu dia betul-betul merasakan seks yang sesungguhnya—tidak seperti saat dia bersetubuh dengan suaminya yang asal tubruk lalu KO. Dan dia berjanji, kalau sedang mengunjungi suaminya, dia akan menyempatkan meneleponku untuk minta jatah dariku.

Minggu malam, kuantarkan dia ke kos suaminya, tapi hanya sampai ujung gang. Tidak lupa kuberi dia uang sebesar Rp500.000 sebagai bantuanku pada anaknya yang sedang di rumah sakit.

Setelah istriku balik ke rumah, dia menghubungiku lewat telepon di kantor dan ketemu di terminal. Kami melakukan persetubuhan di salah satu hotel murah di Surabaya atau kadang di Pantai Kenjeran kalau malam hari.

Hingga kehamilannya menginjak usia 7 bulan, kami berhenti. Hingga sekarang, dia belum memberi kabar. Kalau dihitung, anaknya sudah lahir dan berusia 6 bulan.


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)