Pucuk di Cinta ulam pun tiba, artinya mendapatkan sesuatu yang lebih daripada apa yang diharapkan atau dicita-citakan. Mungkin peribahasa ini tidak cocok untuk mengungkapkan keadaan saya sampai saat ini.
Pasalnya, Mama kandungku yang melahirkanku 20 tahun lalu—yang selalu memberikan kasih sayangnya kepadaku sebagai anak kandung satu-satunya—kini berubah menjadi kasih sayang seorang istri. Sangat setia melayaniku dan bersama-sama selalu mengarungi bahtera birahi kisah cinta anak.
Sepeninggal Ayahku setahun yang lalu, beliau mengambil alih perusahaannya dan sangat sibuk dengan kegiatan kantor atau pertemuan para relasi. Sebagai Direktur Utama perusahaan multinasional, Mama terbilang sangat cantik, seksi, dan masih sangat muda (38 tahun). Ia sering memberikan ceramah pengalaman manajemen pada salah satu perusahaan kaliber internasional.
Mama harus berpenampilan prima. Mama membutuhkan sentuhan profesional perancang mode dan kecantikan yang bertaraf internasional pula. Terpaksa, saya sebagai anak kesayangannya harus mengantarnya ke salon dan butik.
Sebenarnya, Mama tanpa makeup secara alamiah sudah sangat cantik, seksi, dan anggun. Begitu kena sentuhan make-up, menambah kesempurnaannya, membuat siapa saja pasti ingin memilikinya. Begitu juga, saya selalu diminta mengantar Mama apabila ada acara di luar jam kerja. Entah apa sebabnya, dia tidak mau diantar oleh supir pribadinya.
Ternyata, Mama membutuhkan pendamping di acara tersebut. Setiap kali saya mengantar Mama ke acara semacam itu, mata para manager muda selalu saja tertuju kepada Mama. Mereka kagum atas penampilan Mama yang sangat anggun dan cantik, seakan-akan ciptaan Tuhan yang ada di depan matanya adalah yang paling sempurna.
Acara semacam ini berulang-ulang, dan pada suatu ketika—karena acara baru selesai larut malam dan di luar kota pula (kurang lebih 3 jam perjalanan ke rumah)—Mama menawarkan untuk check-in di salah satu hotel berbintang 5. Alasannya, melihat kondisi saya yang sangat kelelahan dan cuaca malam hari yang kurang bersahabat (angin kencang dan hujan akan turun deras).
"Mama!! Feri masih sanggup bawa mobil kok, lagian gak enak sekamar dengan Mama."
"Feri! Siapa bilang kita harus sekamar? Kamu kelihatan capek banget lho, dan sekali-kali kita refreshing di luar rumah," kata Mama singkat yang tidak boleh dibantah.
"Oke deh, Mama Direkturku… yang cantik!!!" jawabku menggoda.
"Betul, Fer? Mama masih cantik, kah?"
"Iya dong, Ma!! Cantiiiiiikk sekali, bak bidadari dari kayangan," kataku sesuai kenyataan. Memang kuakui, mamaku masih sangat cantik. Mama tersenyum bahagia dan bangga—mungkin ini adalah kelemahan semua wanita.
"Besok, Mama akan berikan hadiah istimewa buat kamu, Feri!!"
Kami check-in di salah satu hotel berbintang 5. Karena weekend, semua kamar terisi kecuali 1 kamar terbilang super VIP dengan tarif paling mahal. No problem bagi seorang direktur yang sukses seperti Mama. Sambil mengeluarkan kartu kreditnya untuk digesek sebagai jaminan pembayaran 1 malam.
Kami berdua ke kamar dan diantar oleh 2 orang petugas hotel—yang satunya langsung membukakan pintu kamar seraya berkata:
"Selamat menikmati pelayanan hotel kami, semoga Bapak dan Ibu senang dan berbahagia. Silakan beristirahat."
Mama hanya tersenyum manis sambil melirik kepadaku.
Sepeninggal petugas hotel tersebut, saya langsung menutup kembali pintu kamar.
"Kayaknya petugas hotel tadi menyangka kita berdua suami-istri ya, Ma!!"
"Iya lah… Karena semua kamar penuh kecuali yang ini, terpaksa Mama berbohong. Walaupun tadi Mama registrasi sebagai suami-istri, tapi kamu tetap anak Mama dan jangan macam-macam ya!!!" kata Mama bercanda.
Namun, kata-kata ini membuat pikiran dan khayalanku melanglang tak karuan.
"Anak tidak akan macam-macam, Mama!! Tapi tanggapan mereka tadi pasti berasumsi lain."
"Biarin aja," kata Mama singkat sambil berusaha membuka semua pakaiannya.
Di balik kebaya modern yang lagi ngetop dan sangat transparan, Mama menggunakan kaus sutra sangat tipis, halus, dan transparan yang mempunyai motif batik—seakan-akan bersatu dengan kulit Mama. Secara kasatmata, seperti mencetak tattoo seluruh tubuhnya.
"Fer, tolong bukain korset Mama ini."
Spontan, saya menuju Mama dan berusaha membuka korset yang menutupi separuh bagian bawah kedua buah dadanya, mencetak perut Mama sangat ramping dan menutupi bagian atas pinggangnya. Kulepas perlahan-lahan korset tersebut dari belakang.
Wow… Tubuh Mama sangat sempurna: mulai dari ujung rambut yang mengurai selewat bahu, wajah yang cantik, manis, mata dengan sinar yang cerah alami dihiasi lentik bulu mata yang indah, hidung mancung kemerahan, bibir tipis basah memerah merekah, dagu yang menggelantung memberikan kesempurnaan seorang wanita.
Sewaktu kaitan korset Mama hampir terlepas semua, pikiranku mulai melayang-layang alias menghayal. Walaupun Mama tidak menggunakan korset, tetapi cetakan tubuh Mama sangat sempurna: pinggang yang melekuk, meliuk disertai bokong yang padat dengan perut yang ramping serta dinding yang masih kencang, putih bersih tanpa noda.
Seakan-akan saya tak pernah dikandungnya, menyanggah bidang dada tempat buah dada Mama yang masih mencuat menonjol ke depan—yang menambah kesempurnaannya.
Secara refleks, terucaplah kata-kata:
"Wow… tubuh Mama sangat indah dan seksi, melebihi tubuh anak perawan."
Tiba-tiba, Mama membalikkan tubuhnya yang setengah telanjang sambil menutupi kedua buah dadanya dengan lengan kanannya.
"Fer, ngomong apa tadi kamu, sayang???" tanya Mama sambil tersenyum.
"Ah… Mama!! Pura-pura aja. Feri cuma bilang, seandainya saya tidak lahir dari dalam perut ini—" sambil memegang perut Mama yang sangat mulus, "—saya bersedia jadi… jadi…"
"Jangan kurang ajar kamu, Fer!" kata Mama dengan muka agak kemerahan. "Cepat ambilkan handuk di kamar mandi untuk salin pakaian Mama."
"Ambil sendiri dong, Ma!!!" jawabku singkat.
"Dasar anak malas!"
Mama langsung membuka seluruh pakaiannya, kecuali CD berbentuk segitiga yang sangat tipis dan transparan—hanya dapat menutupi sebagian lubang dan bibir memek Mama—dan secepat bayi berlari kecil ke arah kamar mandi.
Melirik Mama dalam keadaan seperti itu membuat jantungku berdetak kencang, dan entah kenapa, Yunior-ku pun ikut kagum dan tegang. Pikiranku makin melayang-layang dan kotor.
Mama mandi agak kelamaan—hampir dua jam lamanya. Untuk mencegah agar pikiran ini tidak bertambah kotor, kubuka bajuku dan berbaring di sofa. Secara acak, kuraih satu majalah yang disiapkan di atas meja—Pucuk di Cinta ulam pun tiba.
Majalah yang kuraih adalah majalah mode. Setiap lembarnya kubuka, dan hampir semuanya berisi halaman cewek cantik dengan berbagai mode, diselingi tulisan trik bercinta dengan berbagai model. Dan selalu saja kubandingkan dengan kecantikan Mama. Kayaknya sih tidak ada cewek cantik di majalah ini yang dapat menyaingi kecantikan Mama.
Kubaca trik bercinta, dan entah kenapa, kubayangkan saya dan Mama bercinta seperti di gambar majalah itu. Tak terasa, Yunior-ku makin tegang. Dan, saking seriusnya, saya tidak tahu kehadiran Mama persis di sampingku. Tiba-tiba, Mama muncul sambil mengenakan baju handuk, mengecup keningku.
"Giliran kamu mandi, Fer."
Dan Mama meraih dan melihat artikel tersebut. Sempat juga terlihat wajah Mama tertegun, kemerahan. Namun, rasa kaget dan maluku—ketahuan Mama membaca artikel tersebut—membuatku terbang langsung ke kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sewaktu saya hendak mulai membersihkan diri, tiba-tiba saya melihat CD Mama yang sangat tipis dan transparan tergantung di balik pintu kamar mandi. Artinya, Mama sekarang dalam kondisi telanjang bulat dan hanya mengenakan baju handuk yang disiapkan oleh hotel. Tak terasa, kuraba Yunior-ku yang kembali menegang…
Khayalanku makin kotor, dan akhirnya setelah selesai mandi, saya pun meninggalkan semua pakaianku di kamar mandi—alias telanjang bulat dan hanya menggunakan baju mandi seperti yang Mama gunakan.
Perlahan-lahan, kuhampiri Mama yang sedang duduk setengah berbaring di sofa sambil membuka lembar majalah mode.
"Fer!! Duduk di dekat Mama, sayang."
Saya pun mengikut saja, duduk di samping Mama, dan Mama mengubah posisinya untuk duduk bersandar di bahuku. Bau harum rambut dan tubuh Mama sangat lembut. Tak sadar, kulirik buah dada Mama di balik baju mandinya—buah dada yang sangat menonjol dan mencuat, bertahta puting kecil yang kemerahan.
Ingin rasanya aku meremas gundukan daging yang sangat merangsang itu.
"Marahkah Mama seandainya kuraba buah dadanya yang pernah menyusuiku sewaktu masih bayi??" tanyaku dalam hati.
Tiba-tiba, Mama membuka halaman majalah di mana model yang sangat cantik dan seksi terpampang.
"Fer, mana cantik model ini dibandingkan Mama?"
"Mama sayang!!! Dibandingkan dengan Mamaku, belum ada artinya model-model yang ada di dalam majalah ini," kataku singkat.
Mama tampaknya sangat senang dan secara acak lagi membuka lembaran lainnya—nyangkut di lembar trik bercinta dengan segala model pilihannya. Begitu tampak gambar sepasang kekasih yang berciuman dengan model X, Mama langsung menutupnya dan menyimpannya di atas meja.
"Kenapa ditutup, Ma??"
"Mama teringat sama Bapakmu," kata Mama sedikit bersedih.
Kulihat Mama terdiam, dan dengan maksud menghiburnya, kuraih dan kupeluk tubuh Mama sambil membelai rambut di keningnya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya.
"Bolehkah Feri mencium Mama??" tanyaku perlahan-lahan dan sedikit gugup.
"Boleh, Fer, tetapi di kening saja ya, sayang!!!"
Kutatap mata Mama yang lembut dan membutuhkan kasih sayang.
"Tetapi kalau di bibir boleh juga, kan??" kataku sambil menarik bibir bawahnya sehingga tampak gigi putih bersih dan teratur rapi yang menghiasi mulut Mama yang imut.
"Jangan di bibir, Fer!! Nanti Mama terangsang," kata Mama sambil menutup kedua matanya.
Secara tidak sengaja, Mama mengungkapkan rahasia bercintanya dan tempat yang sangat sensitif.
"Hadiah yang Mama janjikan esok hari, Feri tidak mau. Feri hanya minta mencium Mama di bibir, hanya sekali ini saja ya, Ma!!"
Selang beberapa saat, Mama terdiam lalu menjawabnya:
"Boleh, Fer, tetapi jangan dengan nafsu ya!"
Dengan tidak membuang kesempatan emas ini, perlahan-lahan kutarik wajah Mama lebih dekat, dan akhirnya kuciumlah bibir Mama. Awalnya, Mama menutup rapat kedua bibirnya, tetapi dengan upaya menggigit pelan sambil menarik bibir bawahnya, akhirnya mulut Mama sedikit terbuka. Kesempatan ini tidak kusia-siakan—kusedot lidah Mama.
Mula-mula, Mama tampak panik dan mungkin tidak menyangka bahwa anak kandungnya berani menciumnya di bibir plus menyedot lidahnya. Wajah Mama kemerahan dan berupaya melepaskan ciumanku, tetapi karena kedua sisi wajahnya tertahan dengan tanganku dan pelukanku makin erat, Mama pun pasrah akhirnya ikut membalasnya. Kami pun saling menyedot, lidah saling menggelitik, dan air liur kami saling bercampur.
Nafas Mama mulai tersendat-sendat—entah karena terhalang sewaktu kami berciuman atau mungkin pengaruh nafsu Mama yang telah padam setahun lamanya, mulai kembali membakar birahinya. Perlahan-lahan, kulepas ciumannya dan kujilat kedua bibirnya. Tiba-tiba, Mama menangkap lidahku dengan mulutnya dan menyedotnya… kembali wow… kini Mama semakin aktif. Suatu kenikmatan dari Mama yang belum pernah kurasakan selama ini.
Saya tidak ingin kenikmatan ini berlangsung begitu cepat—mungkin perasaan Mama juga seperti itu. Perlahan-lahan, tangan kiriku mulai menjalar di balik baju handuknya, langsung ke gundukan kedua buah dadanya yang juga mulai kenyal dan menegang.
Mama tidak mencegahnya, malah Mama mengubah posisinya. Tanpa melepaskan ciumannya, Mama duduk di atas selangkangku sambil memegang kedua sisi wajahku. Akar ciuman kami tidak terlepas.
Kalau Mama konsentrasi pada ciumannya, saya pun mulai konsentrasi di bagian lain. Perlahan-lahan, kulepas elusan pada buah dadanya, menelusuri ke bawah bagian pinggang, terus ke bawah belakang. Kutarik bokongnya agar lebih merapat ke selangkangku.
Yunior-ku entah kapan sudah sangat tegang, membesar maksimal dan mengeras—namun terjepit terhalang dengan baju handukku. Kusingkap, dan kini Yunior-ku berhadapan langsung dengan memek Mama tanpa hambatan.
Clup… Oww… Yunior-ku dengan mudahnya tergelincir masuk ke lubang memek Mama yang mulai licin berlendir tetapi hangat sampai ke dasarnya. Tubuh Mama bergetar. Memek Mama mulai bereaksi menjepit, ditambah goyangan bokong Mama yang naik turun, menyebabkan Yunior-ku makin kelelap dan memberontak, mengaduk biru, mengeluarkan suara clup… clup… chessss dan erangan Mama awww… ohhh…
Lama… lama sekali kami berciuman, bersetubuh, menikmati hangatnya nafsu birahi di atas sofa dengan posisi Mama duduk di atas selangkangku. Mama mulai orgasme, makin binal tak terkendali. Aku pun makin kesurupan… hanya teriakan-teriakan kecil dari kami berdua mengaum di kamar hotel.
Dan sebelum kami berada di puncak birahi, tiba-tiba Mama menghentikan kegiatannya—melepaskan ciumannya. Namun, Yunior-ku masih tetap berkubang di memek Mama. Mama terdiam.
"Kok jadinya begini, Fer?? Awalnya… cuma minta cium… akhirnya… setubuhi Mama," kata Mama terputus-putus.
"Maaf, Mama. Habis, Mama sih cantik dan seksi."
Mama hanya tersenyum manis dengan wajah yang diliputi keringat birahi.
"Udah terlanjur. Anggaplah suatu kecelakaan, Fer…"
Tanpa memberi kesempatan Mama menyelesaikan kata-katanya, kulepas semua pakaian yang menutupi tubuhku. Mama pun aktif melepas pakaiannya… dan akhirnya kami pun telanjang bulat.
Melihat keadaan Mama telanjang bulat dan siap untuk melanjutkan permainan birahi kami, kugendong Mama dengan posisi tetap Yunior-ku melekat dalam memek Mama. Kuonjok-onjok naik turun tubuh Mama yang mungil, membuat Mama histeris tak karuan… melupakan segala-galanya bahwa yang menyetubuhinya sekarang adalah anak kandungnya. Dan kayaknya Mama tidak tahan lagi… dan Mama tidak mau tahu apa yang telah terjadi.
"Feriii… Mama tidak tahan lagi… ow… ah… Baringkan Mama, sayang… owwwwww!!"
"Feri juga tidak tahan… maaaaaaaaaaaaaa!!"
Akhirnya, kami berdua mencapai puncaknya dalam posisi berdiri…
Suatu kenikmatan yang sangat dahsyat… dan akhirnya kami merasakan lelehan air mani yang tercampur dengan keringat merambat di antara dua selangkang kami. Lemas, dan perlahan-lahan kubawa Mama ke pembaringan tanpa mengubah posisi.
Di pembaringan, Mama terlentang dan aku menelungkup di atas tubuhnya. Pelukan kami makin erat, dan mulut kami masih berciuman… menikmati birahi yang masih tersisa.
Saya terbangun agak siang dan mama masih tertidur dengan tenangnya di sampingku, menindih setengah tubuhku bagian kanan, dengan pahanya diselipkan di antara kedua pahaku. Sejak kemarin, tugasku kini telah bertambah. Selain tugas menjaga dan melindungi Mama Kandungku, mungkin Mama juga membebankan tugas tambahan menggantikan fungsi Papa sebagai suaminya.
Mudah-mudahan tidak ada penesalan mama setelah saya setubuhi semalam, dan itu sangat… sangat saya harapkan.
Tugas yang menurut hukum alam sangat tabu, tetapi itupun terjadi karena kehendak alam. Mama dalam keadaan terpaksa membawaku menembus batas ketabuan berturut-turut sampai dengan tengah malam tadi. Tugas dan pekerjaan yang sangat melelahkan, tetapi juga sangat mengasyikkan.
Menurut Mama, waktu awal perkawinannya 20 tahun yang lalu, Papa hanya mampu melakukan tugasnya paling banyak 2-3 kali dalam sehari semalam. Tetapi saya menyetubuhi mama tiga kali hanya semalam, dan mama menikmatinya. Itu kata mama tengah malam sebelum mama tertidur pulas, untuk dibangunkan dini hari agar tidak kesiangan.
Kulirik mama yang masih tertidur lelap. Kusingkap anak rambut yang menutupi wajahnya dan dengan sedikit cuitan halus di bibirnya, menyebabkan mama bereaksi dengan menggeser tubuhnya makin rapat ke tubuhku dan mengencangkan pelukannya.
“Selamat siang, Ma!” bisikku lirih di samping telinganya.
“Emmm…” balas mama dengan manjanya, namun masih malas membuka matanya.
Kusempurnakan pelukan mama dengan menarik tubuhnya ke atas tubuhku, sehingga mama seutuhnya tertelungkup di atas tubuhku. Mama masih tetap menutup matanya, hanya reaksi selangkangnya yang dilebarkan, memberikan kesempatan kepada pionku berhadapan langsung dengan bibir liang memeknya.
Kehangatan permukaan bibir memek mama menjalar ke batang pionku, menyebabkan dengan sedikit hentakan serta tekanan bokong mama… clup… kepala penisku yang kesekian kalinya berkubang di liang memeknya—yang hangat, nakal, menyedot, dan menjepit.
Merasa hangat dan terjepit, batang pionku menggelinjat di liang memek mama, dan kepalanya terbentur sampai ke dasar liang. Ku tahu bahwa mama telah sadar sepenuhnya. Ia mempermainkan pionku dengan otot memeknya. Kuraih wajah mama dan mengecup bibirnya. Mama masih malas membuka matanya, tetapi sangat agresif membalas dan menyedot ciumanku.
Kembali erangan lirih dari mama sambil menggoyangkan pinggulnya dan mengencangkan otot di dinding memeknya, mengimbangi gerayang seluruh tubuhku. Tidak puas dengan itu, kudorong tubuh mama yang menindihku, kulomot puting buah dadanya bergantian.
Mama semakin menarik tubuhku sampai terduduk, dan mama mengambil posisi duduk dengan melipat betisnya ke belakang, duduk persis di atas selangkangku, serta menarik kepalaku agar lebih merapat ke dadanya—agar bebas bergantian mengisap kedua buah dadanya.
Posisi inilah yang sepertinya mama paling suka, yang selalu memberikan kesempatan untuk dijilati mulai dari batang lehernya, turun sampai kedua buah dadanya, sambil memompa bokongnya agar pionku makin mencapai dasar memeknya.
Dan akhirnya, mama pun mengeluarkan teriakan histeris, meregang. Kurasakan tubuh mama telah diliputi keringat halus berbau birahi, berbaur dengan ludahku yang menjilati hampir seluruh tubuhnya. Dan satu hentakan yang nikmat… Achh… Aouhhhwww… Kami berdua terdiam, membisu.
Kira-kira 5 menit kemudian, mama membuka matanya.
“Selamat siang, sayang,” kata mama menjawab salamku yang kuucapkan 1 jam lalu.
“Emm, mungkin Feri tidak sanggup selamanya membangunkan mama dengan cara seperti ini,” kataku, memulai memecahkan suasana surutnya badai birahi.
“Siapa yang mengharuskan kamu selamanya?” kata mama ketus yang dibuat-buat.
“Bukankah mama yang mengatakannya setelah saya setubuhi mama yang ketiga kalinya semalam?”
“Mama cuma bilang bahwa kamu dapat dalam separuh malam, sedangkan Papamu dalam sehari semalam,” jawab mama masih tetap ketus.
Hening sejenak, lalu mama meraih ponsel dan menghubungi restoran.
“Tolong diantarkan sarapan pagi berdua dengan suamiku dan sekalian pesanan Anggur M.”
Lalu mama melirik kepadaku.
“Itu kan hanya sandiwara, sayang.”
“Tapi yang kita lakukan kan bukan sandiwara, Ma!”
“Betul sayang, kamu menyetubuhi mama entah sudah beberapa kali—itulah suatu kenyataan. Tetapi status kamu sebagai suami mama itu hanya sandiwara dan hanya di hotel ini.”
“Apa bedanya, Ma?! Sandiwara ini dengan kenyataan yang kita sudah alami?” tanyaku bingung.
“Goblok amat kamu, Feri! Kamu telah berhasil menyetubuhi mama karena jebakanmu yang sangat lihai, dan mungkin hanya sekali ini saja. Sandiwara akan usai sepeninggal kita dari hotel ini karena mama merasa sangat terhina bila menjadikan kamu suami mama yang sebenarnya. Kamu adalah tetap anak mama.” kata mama menjelaskan.
“Kenapa tidak boleh, Ma?! Anak memperisteri mamanya?” kataku sambil meraih tubuh mama yang masih telanjang, kembali menindih tubuhku.
“Tugas suami, selain menyetubuhi istrinya, dia juga harus memberi keturunan melalui isterinya.” Kata mama lebih lembut sambil merapatkan buah dadanya ke dadaku serta menggesekkan pahanya ke pionku yang mulai mengeras lagi… Merasakan pionku mulai kencang…
“Kok pion ini gak mau tidur ya?!” kata mama tertawa kecil sambil mengocok perlahan-lahan pionku yang makin membesar. Rangsangan mama membuatku makin berani bertanya:
“Kenapa anak tidak boleh memberi keturunan melalui mamanya?” sambil memegang kedua sisi pinggul mama untuk mengarahkan memeknya ke pionku yang telah keras dan membesar maksimal…
Tok… tok… terdengar ketukan pintu. Saya langsung membukakan pintu setelah melilitkan handuk di pinggangku. Petugas restoran masuk membawa sarapan kami dan dua botol anggur, sambil menyodorkan bill-nya.
Mama hanya mengacungkan dan memberikan credit card-nya kepada petugas tanpa melihat jumlah harga yang tertera. Si petugas bergegas meninggalkan kamar setelah menerima CC-nya mama. Beberapa saat kemudian, petugas kembali membawa struk yang harus ditandatangani oleh mama.
Setelah itu, saya kembali menghampiri mama, tetapi mama menolak secara halus.
“Sebaiknya kita sarapan dulu ya, sayang.”
“Tapi kita kan belum mandi, Ma.” kataku.
“Kalau begitu, gendong mama ke kamar mandi. Nanti mandi bareng.” kata mama sambil tersenyum manis…
Hmm… senyum itu yang selalu menggodaku. Tanpa kata-kata, kugendong mama yang masih telanjang bulat masuk ke kamar mandi…
Di kamar mandi pun, kami menggunakan kesempatan bersetubuh dengan mama. Kami saling bergantian melumuri sabun cair dan menggosoknya—yang paling asik sewaktu menggosok bagian buah dada mama dan turun ke bagian selangkangnya. Demikian pula mama sangat senang membersihkan pionku… kadang-kadang sampai berulang-ulang melumuri sabun cair, kemudian mengocoknya… sekalian mempermainkan kepala pionku.
Sewaktu saya membersihkan leher mama, tiba-tiba mama menatapku, dan saya pun menatapnya… Mama tersenyum, dan kulomot bibir itu. Kami berpelukan sambil mengusahakan pion ini masuk ke dalam memek mama. Hanya saja, karena tinggi tubuh kami sedikit ada perbedaan, maka mama terpaksa saya usahakan dengan sedikit menjongkok, dan mama menjinjit.
Namun, usaha ini sepertinya agak sulit, dan akhirnya mama meminta untuk digendong agar pionku lebih dapat masuk ke dasar memeknya. Kuenjot-enjot tubuh mama yang mungil dalam gendongan… mama makin kesurupan…
Sewaktu mendekati orgasme… kusedot putingnya, dan mama berteriak:
“Ouuwww… jangan dilepas, Fer…!”
Akhirnya, kami berdua orgasme dalam posisi berdiri… Kuturunkan perlahan-lahan mama dan kupindahkan ke bak air, lalu kududukkan di atas selangkangku.
Di bak ini pun, kami berdua bermain lama sekali… saling bertatap muka… saling berbagi kasih sayang dan kenikmatan birahi… Hampir dua jam kami bercumbu di kamar mandi, dan akhirnya kami keluar—masih dalam keadaan telanjang bulat—langsung mendekati meja makan yang telah disiapkan sarapan untuk kami berdua.
Di atas meja telah tersedia hamburger, pizza, serta minuman analcolici dan aperitivo. Sepertinya semua masakan ala Italia, serta telur setengah matang (6 butir) dan telur mentah (4 butir), disertai sebotol kecil madu asli dan dua botol besar wine bermerek Prancis.
Mungkin inilah yang disebut Anggur Bulan Madu pesanan mama. Sarapan ini biasa untuk kami, cuma setelah saya lirik struknya sebesar $1,100.00—yang mahal adalah anggur tersebut per botolnya…
“Tau juga ya, petugas restoran tentang kebutuhan energi penghuninya.” sahut mama dengan mulai mencicipi pizza yang dihidangkan.
“Untuk kamu, Fer, habisin aja 10 butir telur ini, mengganti energi kamu yang terkuras selama ini.” sambung mama melirik kepadaku.
“Mama dong yang butuhkan energi yang banyak, karena mama kelihatan kecapaian.” sambungku bercanda.
“Tuh, liat punyamu… baru aja diceritain energinya… udah ngacung minta dikeloni…” kata mama membalas sambil menunjuk ke pionku yang ngacung salah tingkah…
“Oww… pantasan, pion yang berurat kayak gini membuat mama bisa ketagihan.” sambung mama sambil memegang dan memeriksa urat-urat yang telah menegang di permukaan batang pionku.
“Ma, bilang aja kalo mama pingin lagi.” kataku sambil melihat reaksi mama.
Dan mama hanya tersenyum manis… Aiii…
“Sini dong, Ma… duduk di selangkang Feri sambil sarapan.” sambil menelan sisa pizza yang ada di mulutnya.
Mama mendekati kursiku dan dengan sedikit melebarkan bibir memeknya, langsung meraup pionku dan memasukkan ke dalam liang memeknya…
“Ouuwww… achhh…”
Selanjutnya, mama menggantung di leherku dan berusaha menciumku, sambil merebut pizza yang ada di mulutku dengan mulutnya…
“Enak ya, Ma?!” kataku.
“Emm… owwhhh… kedua-duanya enak dan nikmat, Fer… yang di atas dan yang di bawah.”
“Kalau yang ini, Ma?!” kataku sambil menjilat dan menyedot puting teteknya.
“Semuanya… nikmaaattt… achhh!” sambut mama sambil mulai memainkan pinggulnya.
“Pelan-pelan aja, Ma… banyak waktu, sayang…” kataku memperingati mama agar jangan terlalu cepat orgasme.
Kemudian, saya mengambil minuman aperitivo dan menyodorkannya. Mama meneguknya hampir setengahnya.
Kami sarapan sambil bercanda dan bersetubuh… Tidak sampai setengah, sarapan kami habiskan. Mama pun tidak bisa lagi mengendalikan birahinya… Kembali mama berteriak histeris… dan tubuh kami menegang bareng…
Mama merasakan kenikmatan semprotan maniku ke dalam memeknya, dan saya pun merasakan kehangatan lendir dan jepitan memek mama yang berdenyut… Mama terdiam lemas, tersenyum bahagia dalam pelukanku di atas selangkangku…
Kami beristirahat di lobi kamar yang view-nya panorama pegunungan… sambil menikmati sinar mentari pagi yang mulai meninggi. Mama bersandar manja di dadaku… dengan pakaian setengah lengkap—alias belum sempurna—hanya menggunakan BH merah marun yang kekecilan menopang buah dadanya yang cukup besar.
Kuraba dan meremas buah dada itu… dan perlahan-lahan kumasukkan jari tanganku untuk memelintir putingnya… Mama kegelian… sambil menarik tanganku makin merapat ke buah dadanya…
Birahiku mulai membakarnya, namun tiba-tiba mama berdiri…
“Feri, kita balik sekarang… Takutnya kita kemalaman lagi mengikuti kemauanmu.” kata mama tegas, seperti bila memberi instruksi pada bawahannya di kantor.
Beberapa saat kemudian, kami bergegas meninggalkan hotel yang penuh romantis…